BUDI PEKERTI
Salah satu persoalan terpenting bangsa Indonesia masa kini adalah
ketidakpiawaian dan kegagalan dalam berelasi. Hal ini mencuatkan banyak gejala,
terangkum dalam spectrum amat luas, dari ketidaksantunan dan budi bahasa yang
buruk, sampai goyahnya kebersamaan kebangsaan. Yang sangat disayangkan oknum
yang melakukan adalah orang-oran terpelajar yang mengenyam dunia pendidikan.
Mantan Menteri Pendidikan Muhammad Nuh pernah mengatakan betap pentingnya
sikap-perilaku budi pekerti dalam kehidupan sehari-sehari. Beliau membaurkan
hal tersebut dalam Kurikulum 2013. Telah
disajikan seabrek mata pelajaran di sekolah mengenai kayanya pesan-pesan budi
pekerti. Khususnya pada mata pelajaran PAIBP (Pendidikan Agama Islam dan Budi
Pekerti) dan PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Disampaikannya
secara mendetail tentang budi pekerti. Pesan-pesan budi pekerti lainnya juga
disampiakan secara tipis pada mata pelajaran lain seperti Bahasa dan Ilmu
social. Dari hal tersebut bisa
diasumsikan, peserta didik telah mengetaui dan memahami pesan-pesan tersebut
dengan baik. Namun, mengapa tetap saja kita dapati berulang kali perilaku buruk
orang-orang disekitar kita, yang tidak mencerminkan kepemilikan budi pekerti
nan memadai?
Seorang pengamat Psikologi dari STFF Widya Sasana , Limas Susanto Sp. K.J mengatakan ada dua Kategori
jawaban mengenai masalah tersebut. Yang
pertama, Konstituensi yang berandil mewujudkan ketidakpiawaian dan kegagalan
berelasi. Bukan hanya para peserta didik, mahasiswa, melainkan pula orang-orang
Indonesia yang tidak lagi bersekolah formal. Mereka adalah politikus, birokrat,
orangtua, penguasa, dan wara masyarakat lain. Merekapun pernah mendapat
pesan-pesan budi pekerti. Namun, adakah mereka masih mengetahui dan memahami
pesan budi pekerti itu? Adakah mereka juga masih mengejawantahkan penetahuan
dan pemahaman itu dalam sikap dan perilaku riil sehari-hari?
Jawaban kedua, perwujudnyataan sikap dan perilaku tidak senantiaa
seiring-sejalan-sesuai (jonsonan) dengan pengetahuan dan pemahaman. Pengetahuan
saja tidak akan menjamin perbaikan sikap dan perilaku, apalagi menjammin tumbuh
kembang. Untuk mengejawantahkan perbaikan sikap dan perilaku , manusia perlu
tahu (know), juga kesempatan berlatih
mendemostrasikan (show), dan
melakukan (do) yang ia ketahui.
(Intisari, 2004)
Jadi, mengejewantahkan perbaikan sikap dan perilaku tidak bisa
denngan menuturi, menyampaikan cerita, menguliahi (tell), tapi perlu dengan memperaakan, menunjukkan contoh, dan
melakukan.
Saat ini pelajar khususnya siswa dan mahasiswa dituntut tahu dan
paham banyak hal, tetapi mendapat sedikit sekali kesempatan untuk berlatih
mengejawantahkan yang mereka ketahui dan pahami dalam praktikum. Serta amat
kuran mendapatkan contoh atau teladan riil sikap-perilaku yan susai. Tidak
heran, hasilnya insane-insan yang pintar berbicara, bercerita, bercermah tetapi
kurang berbudi pekerti. Sikap-perilaku mereka tidak sesuai dengan yang mereka
katakana dan cermahkan.
Nah dari paparan diatas, masihkah kita hanya sebagai orang yang
pandai dalam tell and say. Yuk rubah sikap dan perilaku kita “Talk Less Do More” . Semoga bermanfaat salam
pelajar. Belajar, Berjuang dan Bertaqwa.
Kata mutiara
“Pendidikan bukan cuma urusan memperbanyak isi memori otak atau
mencari tahu sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya. Namun lebih dari itu
adalah upaya menghubunkan semua yang sudah diketahui dengan hal-hal yang masih
menjadi misteri”
0 komentar:
Posting Komentar